REKAM DATA e-ktp DI BALAI PERTEMUAN DESA KEDUNGJARAN / GEDUNG BUMDes PADA SENIN 20 NOVEMBER 2017

Rabu, 07 Januari 2015

Revisi PP No.60 Th 2014



MENGGUGAT KETIDAK ADILAN, TUNDA UU DESA

PENGANTAR
Disahkannya UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa dimana secara vulgar dan gamblang didengungkan bahwa Pembangunan akan berpusat di desa dengan kucuran Dana Desa hinga 1,4 milyar perdesa adalah angin segar pelaku pemerintahan desa, dalam hal ini jajaran Kepala Desa dan perangkat desa lainnya.

Kini mereka tak perlu lagi bersaing dan bergumul untuk saling mengejar dan mencari celah agar Dana Pembangunan bisa turun di desanya. Karena kita tahu sebelumnya bahwa sumber Pendanaan Pembangunan berasal dari :
1    -    APBN/APBD, baik provinsi maupun Kabupaten dimana tiap desa mendapatkan porsi hanya dengan besaran berbeda-beda.
2      -        Aspirasi Dewan, ini yang harus diupayakan masing-masing desa utk merebutnya, dan tidak tiap desa mendapatkannya.
3      -       Program Kementerian, ini juga yang harus diupayakan masing-masing desa utk merebutnya, dan tidak tiap desa mendapatkannya.
4    -   Dana Hibah / Bantuan Sosial baik dari Pusat, Provinsi dan Kabupaten yang lagi-lagi harus membutuhkan Jibaku tiap Desa untuk mendapatkannya dan tidak tiap desa mendapatkannya.

Dengan UU Desa dan Peraturan pelaksanaannya yaitu PP Nomor 43 Th 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Th 2014 tentang Desa dan PP Nomor 60 Th 2014 tentang Dana Desa, diamanatkan setiap desa akan mendapat porsi kue pembangunan merata sesuai kebutuhan dan keadaan tiap desa. Dengan range tiap desa mendapat Dana Pembangunan dari Rp.700.000.000,- hingga maksimal Rp.1.400.000.000,-

Terlebih ada semangat meningkatkan kesejahteraan para Pelaku Pemerintahan dan Pembangunan Desa yaitu Kepala desa dan perangkat Desa lainnya. Maka wajar disahkannya Undang-undang Nomor 6 th 2014 tentang Desa disambut dengan gembira.

PERMASALAHAN

Euforia UU Desa begitu menyita perhatian, hanya saja yang mengemuka justru hal negatif akan kesiapan pelaku di tingkat desa yang disinyalir TIDAK SIAP dan moral pelaku pemerintahan desa yang cenderung dianggap KRIMINAL hingga akan terjadi fenomena Kepala Desa ramai-ramai masuk bui.

Diberbagai pemberitaan dan diskusi-diskusi intelektual banyak pembicara dengan latar belakang beragam menyatakan hal sama. Lalu juga muncul anggapan bahwa Kepala Desa akan kebingungan akan membangun apa saja dengan uang sebanyak itu.

Masalah yang sebenarnya muncul di lapangan, ketika UU Desa ini akan dilaksanakan adalah Sudahkah Prasyarat Utama diberlakukannya UU Desa ini terpenuhi, yaitu :
A.    Ketersediaan dan Kepastian Dana,
B.  Kesiapan Peraturan Pelaksanaan yang berkeadilan, aspiratif dan kontributif serta tak     mencerabut hak atas kearifan budaya lokal dan Hak Adat suatu desa.
C.   Validitas Data yang akan digunakan sebagai Dasar Bilangan Pembagi atas Dana Desa yang dikucurkan ke masing-masing Provinsi, Kabupaten dan terakhir desa-desa yang bersangkutan.
D.    Kesiapan Pelaku atau Obyek pelaksanaan UU Desa tersebut yaitu Pemerintah Desa.


PENJABARAN PERMASALAHAN

      A.      KETERSEDIAAN DAN KEPASTIAN DANA
Semangat utama dari UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa adalah sentralistik Pembangunan ada di desa. Segala kebijakan akan arah Pembangunan di Desa semua berpusat di desa dari mulai tahap perumusan, penggalian kebutuhan dan pengambilan keputusan akan dibawa kemana sebuah desa, semua yang menentukan adalah desa itu sendiri.

Juga yang menerima, mengelola dan melaksanakan dana pembangunan adalah Desa itu sendiri tentu dengan pendampingan yang mencukupi dari pihak terkait. Prinsip Dari Desa, oleh Desa dan Utk desa akan benar-benar menjadi kenyataan kelak. Desa menjadi pelaku atau Subjek Pembangunan dan tak semata-mata menjadi objek pembangunan.

Dengan begitu besarnya Beban yang akan diterima oleh desa, dengan harapan tak ada penyimpangan sama sekali, tentu meningkatkan kesejahteraan pelakunya secara bersamaan adalah hal wajib dan mutlak dilakukan. Karena tak mungkin mengharapkan hasil maksimal akan sebuah Program atau Tujuan tanpa juga memperhatikan kesejahteraan pelakunya yaitu Pemerintahan Desa.

Pertanyaannya :
Sudahkah ada Ketersediaan dan Kepastian Dana, karena tidak adil untuk pelaku yaitu Pemerintah Desa dalam hal ini Kepala desa dan Perangkatnya setelah mengerahkan segala Potensi masyarakat yang ada dengan tentu membutuhkan dana, fikiran dan peran serta dari lembaga dan seluruh eksponen masyarakat.

Karena bila tak ada kepastian dana yang akan diterima maka akan terjadi disskomunikasi dan misskomunikasi antara masyarakat dengan Pemerintah Desa dimana akan muncul anggapan bahwa ada ketidakmampuan Pemerintah Desa dalam persaingan merebut porsi kue dana.

Ketidaksiapan Dana dan berakibat pada kebijakan untuk menyicil dengan memperhalus pencairan system termin mengakibatkan kesulitan dalam penyusunan APBD dan APBDes. Ini juga berpengaruh pada besaran penghasilan Tetap dan tunjangan yang diterima oleh Pemerintah Desa yang ternyata justrus semakin kecil, bukan semakin besar.


      B.      KESIAPAN PERATURAN PELAKSANAAN
Segala Pelaksanaan Pemerintahan dan Pembangunan yang berkaitan dengan umum dan dana. Harus ada peraturan yang memayungi pelaksanaan kegiatan tersebut. Baik dari Undang-undangnya maupun Peraturan dibawahnya seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan/Keputusan Gubernur, Peraturan / Keputusan Bupati dan sebagainya.

Tanpa adanya kesiapan peraturan-peraturan tersebut maka ada kegamangan dalam pelaksanaan sebuah program baik dalam perencanaan hingga tahap pelaksanaan pembangunan itu sendiri.

Pembuatan Peraturan itupun tak boleh lepas dari peran serta masyarakat dan tentu Pemerintah Desa sebagai Objek dari peraturan itu agar didapat sebuah Peraturan yang Aspiratif, Kontributif seperti yang diamanatkan Pasal 53 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan  yang berbunyi, ““Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.”
Azas partisipatif ini dibuka agar masyarakat bisa memberikan masukan, saran dan mungkin keberatan akan sebuah rancangan peraturan. Karena bisa saja sebuah rancangan peraturan bertabrakan dengan sebuah kondisi dan keadaan khusus di sebuah daerah atau pada satu objek hukum dari rancangan peraturan tersebut.

Sebagai contoh :
Wacana memasukkan Tanah Bengkok menjadi Pendapatan Asli Desa dan dimasukkan dalam APBDes dan selanjutnya dikeluarkan lagi dengan pembagian 70 % Pembangunan dan 30 % Operasional Desa sangat tak adil dan tak tepat.

1. PEMAHAMAN YANG SALAH ATAU KURANG TEPAT ATAS BUNYI PASAL DALAM UNDANG – UNDANG dan PERATURAN.
-        Pasal 72 ayat (1)
Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari:
a.      pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;
-        Pasal 76 ayat (1)
Aset Desa dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa.

Dimana para pemegang keputusan memutuskan bahwa Tanah Bengkok yang selama ini menjadi Hak dari Kepala desa dan Perangkat Desa lainnya harus ditarik. Perlu diketahui bahwa selama ini Tanah bengkok ada 3 jenis, yaitu :
1.  Tanah Bengkok Hak Kepala Desa dan Perangkat Desa lainnya sebagai Penghasilan tetap.
2.  Tanah Bengkok Ex- Sekretaris Desa yang sebelumnya menjadi Hak Sekretaris Desa yang dimasukkan / dirubah menjadi Tanah Bengkok Grantungan akibat kebijakan Sekretaris Desa PNS.
3.  Tanah Bengkok Kas Desa atau Grantungan, yaitu aset Desa berupa Tanah darat atau Tanah sawah yang penggunaannya dikhususkan untuk keperluan operasional jalannya pelayanan pemerintahan desa seperti :
a.      Menjamu Tamu Dinas,
b.    Biaya acara – acara desa seperti HUT RI, Hari Besar Keagamaan dan Acara adat   desa seperti Nyadran, Legenonan dan sebagainya.
c.       Pembelian alat tulis kantor,
d.      Perjalanan Dinas Pemerintah Desa,
e.      Pembangunan Desa.

Amanat Undang-undang dalam pasal 72 ayat 1 dan pasal 76 ayat 1 yang disebut Tanah Kas Desa dalam hal ini adalah Tanah Bengkok ex Sekretaris Desa dan Tanah bengkok Grantungan yang selama ini memang sering terjadi salah penggunaan dan kebijakan, serta cenderung dikuasai oleh Kepala Desa. Maka tepat 2 jenis tanah bengkok inilah yang dimasukkan dalam APBDes, namun Tanah bengkok Upah tetap menjadi Penghasilan Tambahan bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa lainnya.

Bahwa Tanah Bengkok Upah adalah Hak asal usul Desa yang merupakan Hak Adat Desa yang muncul dan ada sejak desa itu lahir yang selama ini diberikan kepada Kepala Desa dan Perangkatnya sebagai penghasilan tetap.  Hingga atas kenyataan dan Hukum kebiasaan( Konvensi ) di lapangan, banyak Kepala Desa dan Perangkat Desa lainnya yang disebabkan faktor ekonomi telah menjual sewa habis tanah benkoknya, baik untuk bayar kebutuhan ataupun hutang.

Hal ini jelas sangat tak adil bagi daerah dengan Kondisi Khusus yaitu Daerah yang berbengkok ( pulau jawa ) dan keadaan khusus ( kepala desa yang diupah dari bengkok ).


2.       TERJADI PERAMPASAN WEWENANG DAN HAK DESA / KEPALA DESA

1.       Wewenang Desa /Kepala Desa
Bahwa belakangan ini ada Intervensi berlebihan dari Pemerintah baik Pusat dan Daerah atas Kewenangan yang yang selama ini melekat pada Desa dan Kepala Desa selaku Pemimpin tertinggi di Desa. Kewenangan Desa sesuai amanat Undang-Undang dan Peraturan yang ada adalah sebagai berikut :

A.      UU NO. 6 Th 2014 tentang Desa pada :
- Pasal 18 yaitu Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidangpenyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan PembangunanDesa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.
-        Pasal 19
      Kewenangan Desa meliputi:
a.      kewenangan berdasarkan hak asal usul;
b.     kewenangan lokal berskala Desa;
c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
d.  kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-          Pasal 20
       Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal        berskala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b           diatur dan diurus oleh Desa

B.      PP NO. 43 TH 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU DESA.
-      Pasal 33
     Kewenangan Desa meliputi:
a.       kewenangan berdasarkan hak asal usul;
b.      kewenangan lokal berskala Desa;
c.       kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah
d.      daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota;dan
e.   kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-       Pasal 34
     Kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam            Pasal 33 huruf a paling sedikit terdiri atas:
a.       sistem organisasi masyarakat adat;
b.      pembinaan kelembagaan masyarakat;
c.       pembinaan lembaga dan hukum adat;
d.      pengelolaan tanah kas Desa; dan
e.      pengembangan peran masyarakat Desa.

Jelas amanat dari Undang-undang No.6 Th 2014 ttg Desa dan PP 43 Th 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa menghormati wewenang Desa dan Kepala Desa, dengan tentu asal tak menyalahi aturan yang ada dengan maksud dan tujuan agar kewenang yang diberikan tak digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya namun semata-mata untuk kepentingan umum dan desanya.

Jelas bahwa Tanah Bengkok Upah, atas kewenangan yang melekat pada Desa dan Kepala Desa telah disepakati secara turun temurun dari sejak Desa itu lahir dijadikan penghasilan Tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa lainnya. Maka tak salah bila atasnya sudah ada keterlanjuran dijual sewanya Tanah Bengkok Upah tadi hingga akhir masa Jabatan Kades dan Perangkat desa.


2.     Hak atas Pendapatan Kepala Desa dan Perangkat lainnya
Bahwa semangat Undang-Undang No.6 tahun 2014 membawa semangat selain Pembangunan yang berpusat di Desa juga meningkatkan Kesejahteraan Pelaku atau objek dari Undang-undang tersebut yaitu Kepala desa dan Perangkat Desa lainnya.
-        Pasal 81 ayat (1) PP 43 TH 2014
Penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat Desa dianggarkan dalam APB Desa yang bersumber dari ADD.
-        Pasal 82 PP 43 TH 2014
a.   Selain menerima penghasilan tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81,kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan dan penerimaan lain yang sah.
b.    Tunjangan dan penerimaan lain yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari APB Desa dan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
c.    Besaran tunjangan dan penerimaan lain yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.

Amanat tersebut jelas, Negara bermaksud meningkatkan kesejahteraan pelaku Pemerintahan dan Pembangunan desa. Maka kalaupun Negara akan memberikan Penghasilan Tetap yang dianggarkan dari ADD seyogyanya sebanding dengan Hasil dari Tanah Bengkok Upah yang selama ini menjadi Hak atas Upah Kepala Desa dan Perangkat Desa lainnya.

Atau Tanah Bengkok Upah bisa menjadi Tunjangan lainnya tanpa Batasan, dengan dengan tetap memasukkannya dalam APBDes namun tanpa batasan seperti yang diamanatkan PP Nomor 60 Th 2014

Pasal100                                                                                                                                                            Belanja Desa yang ditetapkan dalam APB Desa digunakan dengan ketentuan:
a.       paling sedikit 70% (tujuh puluh perseratus) dari jumlah anggaran belanja Desa digunakan untuk mendanai penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; dan
b.      paling banyak 30% (tiga puluh perseratus) dari jumlah anggaran belanja Desa digunakan untuk:
1.       penghasilan tetap dan tunjangan kepala Desa dan perangkat Desa;
2.       operasional Pemerintah Desa;
3.       tunjangan dan operasional Badan Permusyawaratan Desa; dan
4.       insentif rukun tetangga dan rukun warga.

Karena bila dipaksakan Tanah Bengkok di tarik dan disertai batasan seperti tersebut di atas banyak Kepala Desa yang semula sebelum UU Desa diberlakukan mendapat Penghasilan / Take Home Pay Rp.8.000.000,- hingga Rp.12.000.000,- perbulan diluar tunjangan lainnya hanya akan mendapat Penghasilan Tetap sekitar antara Rp.2.400.000,- hingga Rp.5.000.000,- diluar tunjangan lainnya.

Jawaban bahwa nanti akan mendapat tunjangan lainnya ternyata ini masih tanda tanya besar karena banyak batasan yang ada. Maka kesejahteraan untuk Desa yang mempunyai Tanah Bengkok Upah lebih baik dulu sebelum ada Undang – Undang Desa.

Bisa disimpulkan dengan UU No. 6 Th 2014 tentang Desa tak berpihak kepada Desa yang mempunyai Tanah bengkok Upah.



     C.      VALIDITAS DATA dan KEKINIAN DATA.
Seperti yang diamanatkan dalam PP No. 60 Th 2014 tentang Dana desa terdapat 4 sumber data     yang dijadikan Bilangan Pembagi yang sangat berpengaruh terhadap besaran Dana Desa yang diterima masing-masing Kabupaten dan desa. Ketiga data tersebut adalah :
1.       Jumlah Penduduk,
2.       Luas wilayah,
3.       Jumlah Rumah Tangga Miskin,
4.       Indeks Kemahalan Kontruksi / Indek Kemahalan Geografis ( IKG ).

Hal ini termaktub dalam amanat dalam :  
Pasal 11 Pengalokasian Dana setiap kabupaten atau Kota
1.  Dana Desa setiap Kabupaten / Kota dialokasikan berdasarkan Perkalian antara Jumlah Desadi setiap Kabupaten / Kota dan rata-rata Dana Desa setiap Provinsi.
2.   Rata-rata Dana Desa setiap provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) dialokasikan berdasarkan jumlah Desa dalam Provinsi yang bersangkutan serta jumlah penduduk Kabupaten / Kota , luas wilayah Kabupaten / Kota , angka kemiskinan Kabupaten / Kota, dan Tingkat Kesulitan geografis kabupaten / kota dalam Profinsi bersangkutan.
3.    Jumlah penduduk, Luas wilayah, dan angka kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 ) dihitung deengan bobot :
a.       30 % ( tiga puluh perseratus ) untuk jumlah penduduk kabupaten / kota ;
b.      20 % ( dua puluh perseratus ) untuk jumlah penduduk kabupaten / kota ;
c.       50 % ( limapuluh perseratus ) untuk angka kemiskinan kabupaten / kota.
4.  Tingkat kesulitan geografis ( IKG ) dimaksud pada ayat ( 2 ) ditunjukkan oleh Indeks Kemahalan Konstruksi.
5.   Indeks kemahalan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 4 ) digunakan sebagai faktor pengali hasil penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 3 ).
6.   Rata-rata Dana Desa setiap Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) dihitung    dengan cara ;
      a.       Pagu Dana Desa Nasional yang diterapkan dalam APBN x [(30% x persentase jumlah penduduk kabupaten / kota terhadap total penduduk nasional) + ( 20% x persentase luaswilayah kabupaten / kota terhadap penduduk miskin nasional )  + ( 50% x persentase jumlah penduduk miskin kabupaten / kota terhadap penduduk miskin nasional )] untuk mendapatkan Dana Desa setiap kabupaten / kota;
     b.      Dana Desa setiap Kabupaten / Kota hasil penghitungan sebagaimana dimaksud pada huruf (a)  dikalikan indeks kemahalan konstruksi setiap kabupaten / kota;
     c.     Hasil penghitungan Dana Desa setiap kabupaten / kota sebagaimana dimaksud pada huruf (b) dijumlahkan berdasarkan provinsi; dan
     d.     Jumlah Dana Desa setiap provinsi sebagaimana dimaksud pada huruf (c) dibagi dengan jumlah Desa di setiap provinsi untuk mendapatkan rata-rata Dana Desa setiap provinsi.
7.    Data jumlah penduduk, luaswilayah, angka kemiskinan, dan indeks kemahalan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) merupakan data yang digunakan dalam perhitungan Dana Alokasi Umum.
8.     Besaran Dana Desa setiap kabpaten / kota ditetapkan dengan Peraturan Menteri.




            Pasal 12 Pengalokasian Dana Desa Setiap Desa
1.  Berdasarkan besaran Dana Desa setiap kabupaten / kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (8), bupati / walikota menetapkan besaran Dana Desa untuk setiap Desa di wilayahnya.
2.     Besaran Dana Desa setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah penduduk Desa, luas wilayah Desa, angka kemiskinan Desa, dan tingkat kesulitan geografis.
3.       Jumlah penduduk, Luas wilayah, dan angka kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 )  dihitung dengan bobot :
a.       30 % ( tiga puluh perseratus ) untuk jumlah penduduk Desa ;
b.      20 % ( dua puluh perseratus ) untuk jumlah penduduk Desa ;
c.       50 % ( limapuluh perseratus ) untuk angka kemiskinan Desa..
4.   Indeks kemahalan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 4 ) digunakan sebagai faktor pengali hasil penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 3 ).
5.     Besaran Dana desa setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara
a.  Dana Desa untuk suatu Desa = Pagu Dana Desa Kabupaten / Kota  x [(30% x persentase jumlah penduduk Desa bersangkutan  terhadap total penduduk Desa di Kabupaten / kota) +(20% x persentase Luas wilayah Desa bersangkutan  terhadap total luas wilayah Desa di Kabupaten / kota yang bersangkutan) + ( 50% x persentase Rumah Tangga pemegang Kartu Perlindungan Sosial terhadap Total jumlah Rumah Tangga Desa di abupaten bersangkutan )] ; dan
b.      Hasil penghitungan sebagaimana dimaksud pada huruf (a) disesuaikan dengan tingkat kesulitan geografis setiap desa.
6.   Tingkat kesulitan geografis sebagaimana dimaksud pada ayat ( 4 ) ditentukan oleh faktor yang meliputi :
a.       Ketersediaan pelayanan dasar;
b.      Kondisi infrastruktur;
c.       Transportasi; dan
d.      Komunikasi Desa ke Kabupaten / kota.
7.  Data jumlah penduduk Desa, luas wilayah Desa, angka kemiskinan Desa, dan tingkat kesulitan geografis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersumber dari Badan Pusat Statistik.
8.   Tata Cara pembagian dan penetapan besaran Dana Desa setiap Desa ditetapkan dengan peraturan bupati / walikota.
9.    Bupati / walikota menyampaikan peraturan bupati / walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada Menteri dengan tembusan Gubernur.
             
Permasalahannya ke-4 data tersebut ternyata didapat dari data BPS tahun sensus 2011. Dimana dipastikan Data tersebut sudah tidak valid dan tidak sesuai lagi dengan keadaan  terkini dari masing – masing Kabupaten dan Desa pada tahun 2015 ketika Dana Desa dikucurkan.
                
Dari   ke-4 Sumber   Data , yang  menjadi pokok  permasalahan  adalah 3 poin  selain Luas wilayah.    Selama luas wilayah diisi dengan benar maka tak akan timbul masalah, walau ternyata setelah ditelusuri banyak Desa yang Luas wilayahnya ada kesalahan input data yang mencapai perbedaan hingga ribuan Ha untuk sat desa karena permasalahan salah input data seperti, Desa Purwodadi Kecamatan Sragi Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah  sesuai data BPS seluas 1,232,32 HA padahal yang benar adalah 123,232 HA.
              
Kesalahan fatal seperti ini jelas  akan    berpengaruh  pada hasil akhir terhadap    Dana Desa yang       diterima   tiap   Kabupaten atau   Desa. Untunglah Luas   wilayah hanya mempunyai   prosentase    keberpengaruhan hanya sebesar 20 %. Yang paling perlu ditelusuri adalah 3 sumber data  BPS karena mempunyai prosentase keberpengaruhan 30 dan 50 % terhadap besaran dana yaitu :
1.     Jumlah Penduduk dengan Prosentase Pengaruh 30 %
Jumlah Penduduk yang dipakai sebagai dasar penghitungan pencairan dana desa pada tahun 2015 adalah data BPS sensus tahun 2011. Yang pasti jumlah penduduk ini sudah tidak valid lagi, karena jumlah penduduk pasti mengalami perubahan selama 4 Tahun. Perubahannya pada th. 2015 rata-rata sekitar 10 – 15 % dari jumlah penduduk th 2011 yang dikeluarkan BPS pada tahun 2011.

Dengan prosentase sebesar 30-an % maka ini berpengaruh signifikan terhadap besaran dana yang diterima masing-masing desa.

2.    RTM ( keluarga penerima Kartu Pengaman Sosial ) dgn prosentase Pengaruh 50 %
Dengan Prosentase Pengaruh hingga 50 %, jumlah RTM atau penerima Kartu Pengaman sosial ini merupakan Sumber Data yang paling bermasalah.

Terlebih pada bulan Desember 2014, betapa terjadi carut marut penerimaan KSPS pasca kenaikan BBM yang disebabkan data RTM yang tidak valid dan terbukti banyak kesalahan dilapangan karena system sensus dan survey yang tak bisa dipertanggungjawabkan.

Betapa banyak dijumpai pengambil bantuan KSPS adalah warga mampu dengan segala perhiasan yang dia pakai dan datang dengan kendaraan roda dua keluaran terbaru. Sedang banyak teriakan dari orang-orang yang benar – benar tidak mampu namun tak mempunyai Kartu Pengaman Sosial ( KPS ).

Ketidaktepatan penerimaan bantuan pasca kenaikan BBM bulan Desember 2014 kemarin, ada 2 sebab yang utama :
1.   Warga mampu pemegang KPS adalah warga mampu yang dimasukkan sengaja oleh oknum Perangkat desa karena latar belakang kedekatan Keluarga, kedekatan Politik dengan Kepala Desa atau perangkat lainnya.
2.   Warga yang dulu memang layak dan berhak pada tahun 2011 telah mengalami peningkatan taraf hidup dan mampu pada desember 2014.
                 
Maka menggunakan data BPS Th 2011 adalah kesalahan besar dan Kebijakan yang sangat tidak tepat. Kelayakan penerimaan KPS tiap desa dalam satu wilayah kecamatan sangat mudah untuk disimpulkan bahwa suatu desa melakukan kebijakan penggelembungan jumlah Rumah Tangga Miskin atau tidak. Dilihat dari prosentase Jumlah Penduduk, Luas wilayah dan kawasan geografis yang sama maka dapat dengan mudah disimpulkan.
                 
Desa yang bertetangga lebih mudah lagi untuk diamati, karena sering terdapat dalam satu keluarga besar ada yang menjadi warga dari 2 bahkan 3 desa berdekatan. Dengan   kondisi Rumah tangga yang sama, kadang di desa lain mendapat KPS dan di desa satunya tak mendapat, padahal sekali lagi dengan kondisi ekonomi yang hampir sama.
                
Maka langkah yang harus di ambil adalah perbaiki data agar sevalid mungkin, atau tiadakan RTM sebagai bilangan penghitung selama belum ada data yang bisa dipertanggungjawabkan.

3.     Nilai Indeks Kemahalan Konstruksi / Indek Kemahalan Geografis yang tak Valid.
Nilai IKK / IKG adalah nilai yang didapat dari formulasi tertentu yang memperhitungakan berbagai kesulitan geografis suatu desa yang mengakibatkan mahalnya harga-harga bahan bangunan karena kesulitan transportasi baik karena kendala medan geografis atau jauhnya dari pusat kota kabupaten yang selama ini menjadi pusat bahan baku pembangunan.
                        
       Angka IKK / IKG menjadi bilangan penghitung berdasar amanat Pasal 12 ayat 6 PP No.60                Th. 2014 pada hal Pengalokasian Dana Desa Setiap Desa yaitu Tingkat kesulitan geografis                  sebagaimana dimaksud pada ayat ( 4 ) ditentukan oleh faktor yang meliputi :
a.       Ketersediaan pelayanan dasar;
b.      Kondisi infrastruktur;
c.       Transportasi; dan
d.      Komunikasi Desa ke Kabupaten / kota.

Dan sekali lagi data itu ternyata didapat dari data BPS Th. 2011 yang mana harus dipertanyakan kesesuaian data tersebut dengan keadaan terkini pada tahun 2015. Banyak sumber data yang bisa dijadikan Bahan / sumber, namun amanat Pasal 12 ayat 7 PP No. 60 Tahun 2014 tentang dana Desa mengamanatkan bahwa :
Data jumlah penduduk Desa, luas wilayah Desa, angka kemiskinan Desa, dan tingkat kesulitan geografis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersumber dari  Badan Pusat Statistik.

Nilai IKK / IKG tiap Kabupaten memang tak bisa kita nilai sejauh mana kevaliditan data tersebut. Namun bila pada level sesama satu kecamatan maka sharusnya range perbedaan nilai IKK / IKG ini tak berbeda jauh. Namun ternyata banyak Desa dalam satu kecamatan dengan jarak tak lebih dari 2-3 KM nilai IKK / IKG-nya berbeda hingga 20-an digit.

Padahal bila kita rubah persepuluh digit, pada tabel perolehan dana desa yang diperoleh di Kabupaten Pekalongan mengakibatkan perbedaan perolehan hingga puluhan juta rupiah. Yang makin membuat tanda tanya besar, daerah pegunungan seperti daerah Paninggaran ada yang nilai IKK /IKG-nya sama dengan wilayah di pantura dengan kemudahan Transportasi dan Geografis yang sangat-sangat berbeda.

Maka patut ditanyakan kebenaran dan keakuratan dari nilai IKK / IKG yang dijadikan sebagai bagian formula / rumus untuk menentukan besaran penerimaan dana desa.

    D.      KESIAPAN PELAKU ATAU OBJEK HUKUM UNDANG-UNDANG NO.6 TH 2014 tentang DESA
Kesiapan Pelaku dalam hal ini semua lembaga baik Lembaga Pemerintah desa yang terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa lainnya, juga kesiapan Lembaga Pemerintahan Desa dari BPD, RT-RW dan lembaga desa lainnya seperti PKK, Karang Taruna, LPMD dll.

Akan tetapi lembaga pokok sebagai penerima dana adalah Pemerintah Desa dan BPD, karena dua lembaga inilah Pelaku pelaksanaan Undang-Undang Desa pada nantinya. Maka mereka perlu mendapatkan Pendidikan dan Pelatihan seluas-luasnya agar tak terjadi seperti apa yang diramalkan oleh para pemerhati kebijakan pembangunan desa.

Pendidikan dan Pelatihan ini sangat perlu untuk menyiapkan SDM pada lembaga Pemerintahan Desa agar benar-benar siap untuk melaksanakan Undang-Undang Desa. Mulai dari tahap perencanaan, pencairan dana, pengalokasian dana, pemanfaatan dana, pertanggungjawaban hingga hal lain yang terkait, hingga tak timbul hal-hal yang tak diinginkan seperti kesalahan yang berakibat fatal dan berurusan dimuka hukum.

Pendidikan dan Pelatihan tidak saja hanya Pemerintah Desa yang diwajibkan mendapatkannya. Namun Instansi terkait seperti Pemerintah daerah hingga level kecamatan dan Lembaga lain yang merupakan lembaga Pendamping, Pemeriksa hingga Lembaga Hukum juga perlu mendapatkan Pendidikan dan Pelatihan atas segala yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Desa ini.

Selain Pendidikan dan Pelatihan juga perlu Kesepemahaman atas segala Perundangan dan Peraturan yang menjadi dasar pelaksanaan dari UU Desa ini. Hal ini perlu agar tak terjadi benturan Kepentingan karena perbedaan cara pandang antara :
1.     Pemerintah dan Pemerintahan Desa sebagai pelaku atau pelaksana,
2.     Pemerintah Daerah sebagai Pendamping Pelaksanaan,
3.     Itwil, BPKP sebagai pemeriksa dan Pengawas atas Pelaksanaan Program,
4.     Kepolisian dan Kejaksaan sebagai Penyidik dan Penyelidik serta Penuntut bila ada  penyimpangan Program / Dana,
5.     KPK dan Kehakiman sebagai Pemutus Hukuman bila ada Penyimpangan Program yang merugikan Keuangan Negara.
                
Masing – masing  dari   lembaga   tadi harus satu    pengertian terhadap apa  yang   menjadi   tujuan    pelaksanaan   UU  Desa. Karena   bila antar masing-masing   tak     sama  cara pandangnya   maka yang dirugikan dan menjadi korban adalah Pelaksana atau objek dari UU Desa yaitu Kepala Desa dan Perangkat desa lainnya.

Maka Diklat perlu dan wajib untuk semua lembaga tersebut tanpa terkecuali.

KESIMPULAN

UU No. 6 Tahun 2014 mempunyai semangat adiluhung, namun bila pelaksanaannya tidak dibarengi dengan Peraturan Pelaksanaan yang baik dan berpihak pada Desa serta tak didukung Data yang terkini dan bisa dipertanggungjawabkan kebenaran serta keakuratannya maka Pelaksanaan UU No.6 Tahun 2014 diharapkan agar ditunda pelaksanannya.

Penundaan ini perlu guna menghindari benturan secara horisontal antar desa yang merasa diperlakukan tak adil karena banyaknya kesalahan data terutama Jumlah RTM penerima Kart Pengaman sosial dan indeks Kemahalan Geografis.

Kalaupun bahwa Pelaksanaan UU No.6 Th 2014 tentang Desa ini harus dilaksanakan pada waktu sekarang ini, maka harus ada toleransi terhadap beberapa ketentuan yang ada di Undang-Undang tersebut maupun peraturan daerah pelaksanaannya.

Aatau bisa diambil kebijakan sama rata terlebih dahulu hingga Nilai / angka bilangan penghitung telah dapat diupdate hingga sesuai dengan situasi dan kondisi yang sebenarnya di masing-masing desa.

2 komentar:

  1. tulisan yang bernas dan mencerahkan, maju trs bung demi kemajuan dan kesejahteraan masy desa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas Kunjungan dan Suportnya.

      Hapus