REKAM DATA e-ktp DI BALAI PERTEMUAN DESA KEDUNGJARAN / GEDUNG BUMDes PADA SENIN 20 NOVEMBER 2017

Senin, 12 November 2018

Pilkades Bebas Money Politik

Akhir-akhir ini sering kita saksikan di berbagai media, kepala desa tertangkap oleh Aparat Penegak Hukum. Permasalahannya bermacam-macam. Namun hampir keseluruhannya terkait tindak pidana korupsi dan pungutan liar. Ada juga penyalahgunaan jabatan, sedikit yang dikarenakan kesalahan administrasi.

Dari hasil penelusuran hampir mayoritas dikarenakan permasalahan uang. Secara terang-terangan bisa dikatakan untuk mengembalikan modal. Atau ada yang mengatakan juga mencari modal untuk pencalonan Pilkades yang akan datang. Tentu ada juga yang kesalahan pergaulan, terjerumus pola hidup pejabat yang salah. Terlebih saat ini anggaran yang dikelola luar biasa banyak dengan dana desa.

Apakah begitu besar biaya yang dibutuhkan untuk pilkades ?.
Ternyata memang sangat banyak, mari kita hitung bersama-sama. 

Biasanya, 1 tahun menjelang pilkades mulai muncul kasak kusuk dukung mendukung. Yang mendukung, bila ia dari kalangan berduit sudah mulai mengkampanyekan dukungannya. Dari mulai membayari warga yang makan minum di warung, hingga aktif menyuarakan jagoannya. Terlebih untuk seseorang yang nyata-nyata akan mencalonkan. Biasanya ia akan aktif di tengah masyarakat. Kegiatan sosial keagamaan ia suport maksimal. Membayari makan minum warga di warung juga gencar ia lakukan, baik olehnya sendiri maupun oleh agen-agen juru kampanyenya yang terkenal dengan sebutan pecut.

Bisa dibayangkan, hal itu dilakukan dari 1 tahun sebelum Pilkades. Katakanlah 1 minggu 1 juta saja, dalam 1 bulan 4 juta. Belum sumbangan-sumbangan yang secara otomatis berdatangan memintanya karena alih-alih agar mendapat dukungan. Biasanya ini berlangsung dalam 10 bulanan. Karena 2 bulan terakhir ini merupakan puncaknya.

Pada 2 bulan terakhir inilah, seorang calon kepala desa harus menyiapkan pundi-pundi pendanaan. Penggalangan masa dilakukan. Bahkan ada yang hingga menyewa gedung pertemuan full hiburan dan sajiannya. Paling sederhana di rumah makan tertentu. Biasanya diawali dengan pertemuan tokoh-tokoh. Selanjutnya ketua kelompok hingga warga umum.

Hitung saja perlu pertemuan Tokoh dengan jumlah 50-an, menu makan yang harus istemewa karena mereka tokoh. Belum uang sakunya. Satu kali pertemuan 5 - 10 juta dibutuhkan. Koordinasi seperti ini biasanya 2 - 3 kali. Lalu dilanjut dengan pertemuan Ketua kelompok, 1 orang ketua kelompok biasanya memegang 2-3 rumah. Jumlahnya bisa hampir 100 - 200 orang, tetap dengan layanan istimewa dan uang saku. Dengan menu sederhana 1 orang 30ribuan, uang saku 50ribuan dan rokok perorang tentu bisa dihitung berapa biaya yang dibutuhkan.

Bersamaan dengan itu, dirumah calon kepala desa dilakukan open house, khususnya pada malam hari. Waktunya bisa dalam 10 - 20 harian menjelang waktu hari tenang. Berbagai makanan kecil dihidangkan, rokok bebas berapapun mau. Hingga sering didapati sales rokok yang menawarkan produknya di rumah calon kepala desa. Dalam 1 malam, minimal membutuhkan 10 Pak Rokok dengan isi 20 bungkus. Belum makanan, minuman dan lainnya. Dalam 1 malam minimal 1 - 2 juta dihabiskan.

Siangnya Calon Kepala desa akan keliling rumah warga, memberitahu dirinya mencalonkan diri sekaligus meminta dukungan. Ada yang hanya 1 kali, ada pula yang 2 kali. Diawal mau mendaftarkan diri dan setelah resmi menjadi calon tetap. Contoh desa kecil dengan jumlah rumah 500 rumah, ia harus mengeluarkan uang ganti gula atau untuk jajan anak di setiap rumah dengan besaran 25 - 50 ribu rupiah. Kalau satu kali kunjungan saja bisa menghabiskan 15 - 25 juta rupiah, kalau 2 kali bisa dihitung berapa rupiah yang harus disediakan. Itu hanya dihitung perumah, kalau dalam 1 rumah ada dua lebih kepala keluarga maka biaya yang dikeluarkan akan semakin lebih banyak.

Puncaknya di hari H pemilihan. Melalui Panitia ada istilah uang ganti kerja, besaranya 25 - 50ribu rupiah perpemilih tergantung kesepakatan semua calon. Dengan jumlah Pemilih hadir 1500-an saja, uang yang harus diserahkan ke panitia bisa sejumlah 30 - 75 juta rupiah percalon kepala desa. Itu yang resmi melalui panitia.

Yang melalui Tim Pemenangan beda lagi, justru ini yang paling membutuhkan biaya besar. Disebut sebagai serangan fajar. Angka terakhir di tahun 2013/2014, untuk setiap pemilih, ia datang atau tidak. Karena biasanya diberikan kepada kepala keluarga adalah antara 50 - 100 ribu rupiah. Dengan jumlah hak pilih 2000 orang saja, maka sebesar 150 - 200 juta rupiah harus ia siapkan.

Belum lagi Pemulangan warga yang merantau, panitia yang sigap akan mengatur agar dibiayai bersama. Namun sering masing-masing menyediakan armada bus sesuai laporan tim pemenangan di rantau. Tak kurang 3 - 5 bus disiapkan oleh masing masing calon dengan lengkap akomodasi diperjalanan.

Pagi hari pada hari pemilihan, di rumah calon kepala desa juga ada dapur umum. Pagi hari sehabis subuh makanan pagi dihantarkan ke setiap warga, makan ditempatpun bisa. Lalu mereka mengiring calon ke tempat pemungutan suara. Tentu dengan masing-masing ketua Kelompok masing-masing sebungkus rokok diluar uang serangan fajar dan Uang Ganti Kerja dari panitia.

Sepulangnya pemilihan, sebelum penghitungan di masing-masing rumah calon kepala desa telah disiapkan makanan dan minuman lengkap untuk jumlah tak terkira. Semua siap menang, hingga saatnya nanti pendukung pulang dari Tempat Pemilihan bisa dijamu sepuasnya untuk yang menang. Tempat sikalah biasanya makan mubazir terbuang, karena kesedihan melanda.

Sudah selesaikah ?. Belum kawan.
Setelah dipastikan siapa yang menjadi kepala desa, Kepala desa terpilih harus tetap siap menerima tamu. Bahkan untuk yang ini tamu dari pemerintahan hingga media berdatangan. Sebagai tanda syukur ada pula yang diselipkan dengan jumlah variatif. Dan puncaknya diakhiri dengan tasyakuran, seluruh warga diundang selamatan. Yang royal, ada hiburan dangdut atau lainnya seuai janji sebelumnya.

Maka tak heran ada cerita untuk menjadi Kepala Desa membutuhkan antara 500 - 1,5 milyar. Angka yang fantastis. Tapi bukankah penghasilan kepala Desa juga besar ?. Wajar saja untuk menjadi kepala desa juga butuh biaya besar.

Mari kita hitung. Dengan Penghasilan tetap dibawah 4 juta rupiah sebulan, dalam 1 masa jabatan kepala desa hanya bisa mengumpulkan 4jt X 12 X 6 = Rp.288.000.000,-.  Ditambah Tunjangan berupa sawah bengkok. Rata-rata Kepala Desa mendapat 40 - 60 petak/iring lahan sesuai kekayaan desa yang ada. Untuk 1 petak disewakan bisa laku 800 - 1 juta rupiah untuk 2 kali sewa pertahun. Maka bila ia menerima hak 40 petak bisa dihitung 2 ( sewa ) X 40 ( petak ) X 6 ( tahun ) X 1 juta = Rp.480.000.000,- . Total ia mendapat Rp.700.000.000, - dari sewa lahan dan Penghasilan tetap dari Pemerintah.

Ingat, setelah jadi kepala desa bukan berarti tak ada pengeluaran lagi. Justru Biaya Sosial Kepala Desa semakin wajib dikeluarkan. Untuk setiap hajat warga ia harus hadir dan menyumbang, orang sakit, orang musibah. Singkatnya dari lahir hingga warga meninggal Kepala Desa harus ada dana yang dikeluarkan. Tamu terkait tugas, tamu kemitraan dan lain sebagainya. Yang jumlahnya juga sangat luar biasa.

Maka wajar dengan pola Pilkades seperti itu jarang muncul kepala desa - kepala desa yang berhasil. Dari 75 ribu kepala desa di Indonesia hanya  1 - 2 persen yang bisa mengangkat desanya menjadi lebih baik. Sisanya normatif, karena bila ia semakin aktif butuh biaya tambahan untuk menopang keaktifannya.

Belum lagi rival yang kalah, setiap hari akan berupaya menjatuhkan. Terlebih bila ia  tak bisa bangun dari kekalahannya. Ia akan membabi buta mencari kelemahan kepala desa. Terlebih bila ia masih ingin mencalonkan diri di tahun berikutnya.

Maka sudah menjadi rahasia umum pada Kepala Desa terpilih muncul prinsip balik modal, atau mengumpulkan modal untuk Pilkades yang akan datang.

Dampak negatif yang luar biasa, yang seharusnya menjadi perhatian kita bersama. Bagaimana mewujudkan Pilkades yang bermartabat yang menghasilkan Kepala Desa terpilih tanpa beban. Agar Kepala Desa terpilih bisa fokus bekerja menjalankan amanah rakyat memajukan desa mensejahterakan warganya.

Regulasi harus dibenahi, seluruh lini harus disadarkan. Ada masalah besar pada Bangsa ini yang harus diperbaiki. Percuma bicara besar tentang membangun bangsa bila ujung tombak pembangunan di desa terjerat belitan masalah.

Bisakah ?. Bisa walau berat. Asal ada kemauan bersama pasti bisa. Bila ini berhasil, maka rentetan praktek money politik bisa dihilangkan dari bumi Indonesia. Mulai dari Desa. Kepala Desa yang terpilih bukan dari Money Politik akan mengawal pelaksanaan Pemilihan apapun di desanya dengan anti Money Politik Pula.

Maka tidak mustahil, akan terwujud Pemimpin-pemimpin di semua lini pemerintahan. Dari Kepala Desa, Bupati Walikota, Gurbernur hingga Presiden juga dengan dewannya. Hingga pimpinan OPD hingga Para Menterinya terpilih bukan karena pemberian dan apa yang akan diberikan. Namun semata-mata ia terpilih karena kemampuan dan pilihan rakyatnya.

Indonesia bermartabat dengan pemimpin-pemimpinnya yang jujur, adil dan berwibawa akan terwujud. Indonesia maju adil sejahtera akan tercipta. Negeri Baldatun Toyyibatun Wa Rabun Ghofur akan menjelma.

4 komentar: