MENGGUGAT KETIDAK
ADILAN, TUNDA UU DESA
PENGANTAR
Disahkannya UU No. 6 Tahun 2014
Tentang Desa dimana secara vulgar dan gamblang didengungkan bahwa Pembangunan
akan berpusat di desa dengan kucuran Dana Desa hinga 1,4 milyar perdesa adalah
angin segar pelaku pemerintahan desa, dalam hal ini jajaran Kepala Desa dan
perangkat desa lainnya.
Kini mereka tak perlu lagi
bersaing dan bergumul untuk saling mengejar dan mencari celah agar Dana
Pembangunan bisa turun di desanya. Karena kita tahu sebelumnya bahwa sumber
Pendanaan Pembangunan berasal dari :
1 - APBN/APBD,
baik provinsi maupun Kabupaten dimana tiap desa mendapatkan porsi hanya dengan
besaran berbeda-beda.
2 - Aspirasi
Dewan, ini yang harus diupayakan masing-masing desa utk merebutnya, dan tidak
tiap desa mendapatkannya.
3 - Program
Kementerian, ini juga yang harus diupayakan masing-masing desa utk merebutnya,
dan tidak tiap desa mendapatkannya.
4 - Dana
Hibah / Bantuan Sosial baik dari Pusat, Provinsi dan Kabupaten yang lagi-lagi
harus membutuhkan Jibaku tiap Desa untuk mendapatkannya dan tidak tiap desa
mendapatkannya.
Dengan UU Desa dan Peraturan
pelaksanaannya yaitu PP Nomor 43 Th 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6
Th 2014 tentang Desa dan PP Nomor 60 Th 2014 tentang Dana Desa, diamanatkan
setiap desa akan mendapat porsi kue pembangunan merata sesuai kebutuhan dan
keadaan tiap desa. Dengan range tiap desa mendapat Dana Pembangunan dari
Rp.700.000.000,- hingga maksimal Rp.1.400.000.000,-
Terlebih ada semangat
meningkatkan kesejahteraan para Pelaku Pemerintahan dan Pembangunan Desa yaitu
Kepala desa dan perangkat Desa lainnya. Maka wajar disahkannya Undang-undang
Nomor 6 th 2014 tentang Desa disambut dengan gembira.
PERMASALAHAN
Euforia UU Desa begitu menyita
perhatian, hanya saja yang mengemuka justru hal negatif akan kesiapan pelaku di
tingkat desa yang disinyalir TIDAK SIAP dan moral pelaku pemerintahan desa yang
cenderung dianggap KRIMINAL hingga akan terjadi fenomena Kepala Desa
ramai-ramai masuk bui.
Diberbagai pemberitaan dan
diskusi-diskusi intelektual banyak pembicara dengan latar belakang beragam
menyatakan hal sama. Lalu juga muncul anggapan bahwa Kepala Desa akan
kebingungan akan membangun apa saja dengan uang sebanyak itu.
Masalah yang sebenarnya muncul di
lapangan, ketika UU Desa ini akan dilaksanakan adalah Sudahkah Prasyarat Utama
diberlakukannya UU Desa ini terpenuhi, yaitu :
A. Ketersediaan dan Kepastian Dana,
B. Kesiapan Peraturan Pelaksanaan yang berkeadilan,
aspiratif dan kontributif serta tak mencerabut hak atas kearifan budaya lokal
dan Hak Adat suatu desa.
C. Validitas Data yang akan digunakan sebagai Dasar
Bilangan Pembagi atas Dana Desa yang dikucurkan ke masing-masing Provinsi,
Kabupaten dan terakhir desa-desa yang bersangkutan.
D. Kesiapan Pelaku atau Obyek pelaksanaan UU Desa
tersebut yaitu Pemerintah Desa.
PENJABARAN PERMASALAHAN
A.
KETERSEDIAAN
DAN KEPASTIAN DANA
Semangat utama
dari UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa adalah sentralistik Pembangunan ada di
desa. Segala kebijakan akan arah Pembangunan di Desa semua berpusat di desa
dari mulai tahap perumusan, penggalian kebutuhan dan pengambilan keputusan akan
dibawa kemana sebuah desa, semua yang menentukan adalah desa itu sendiri.
Juga yang
menerima, mengelola dan melaksanakan dana pembangunan adalah Desa itu sendiri
tentu dengan pendampingan yang mencukupi dari pihak terkait. Prinsip Dari Desa,
oleh Desa dan Utk desa akan benar-benar menjadi kenyataan kelak. Desa menjadi
pelaku atau Subjek Pembangunan dan tak semata-mata menjadi objek pembangunan.
Dengan begitu
besarnya Beban yang akan diterima oleh desa, dengan harapan tak ada
penyimpangan sama sekali, tentu meningkatkan kesejahteraan pelakunya secara
bersamaan adalah hal wajib dan mutlak dilakukan. Karena tak mungkin
mengharapkan hasil maksimal akan sebuah Program atau Tujuan tanpa juga memperhatikan
kesejahteraan pelakunya yaitu Pemerintahan Desa.
Pertanyaannya :
Sudahkah ada
Ketersediaan dan Kepastian Dana, karena tidak adil untuk pelaku yaitu
Pemerintah Desa dalam hal ini Kepala desa dan Perangkatnya setelah mengerahkan
segala Potensi masyarakat yang ada dengan tentu membutuhkan dana, fikiran dan
peran serta dari lembaga dan seluruh eksponen masyarakat.
Karena bila tak
ada kepastian dana yang akan diterima maka akan terjadi disskomunikasi dan
misskomunikasi antara masyarakat dengan Pemerintah Desa dimana akan muncul
anggapan bahwa ada ketidakmampuan Pemerintah Desa dalam persaingan merebut
porsi kue dana.
Ketidaksiapan
Dana dan berakibat pada kebijakan untuk menyicil dengan memperhalus pencairan
system termin mengakibatkan kesulitan dalam penyusunan APBD dan APBDes. Ini
juga berpengaruh pada besaran penghasilan Tetap dan tunjangan yang diterima
oleh Pemerintah Desa yang ternyata justrus semakin kecil, bukan semakin besar.
B.
KESIAPAN
PERATURAN PELAKSANAAN
Segala
Pelaksanaan Pemerintahan dan Pembangunan yang berkaitan dengan umum dan dana.
Harus ada peraturan yang memayungi pelaksanaan kegiatan tersebut. Baik dari
Undang-undangnya maupun Peraturan dibawahnya seperti Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan/Keputusan Gubernur, Peraturan /
Keputusan Bupati dan sebagainya.
Tanpa adanya
kesiapan peraturan-peraturan tersebut maka ada kegamangan dalam pelaksanaan
sebuah program baik dalam perencanaan hingga tahap pelaksanaan pembangunan itu
sendiri.
Pembuatan
Peraturan itupun tak boleh lepas dari peran serta masyarakat dan tentu
Pemerintah Desa sebagai Objek dari peraturan itu agar didapat sebuah Peraturan
yang Aspiratif, Kontributif seperti yang diamanatkan Pasal 53 UU Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi, ““Masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan
undang-undang dan rancangan peraturan daerah.”
Azas
partisipatif ini dibuka agar masyarakat bisa memberikan masukan, saran dan
mungkin keberatan akan sebuah rancangan peraturan. Karena bisa saja sebuah
rancangan peraturan bertabrakan dengan sebuah kondisi dan keadaan khusus di
sebuah daerah atau pada satu objek hukum dari rancangan peraturan tersebut.
Sebagai contoh :
Wacana memasukkan Tanah Bengkok menjadi Pendapatan Asli Desa dan
dimasukkan dalam APBDes dan selanjutnya dikeluarkan lagi dengan pembagian 70 %
Pembangunan dan 30 % Operasional Desa sangat tak adil dan tak tepat.
1. PEMAHAMAN YANG SALAH ATAU KURANG TEPAT ATAS
BUNYI PASAL DALAM UNDANG – UNDANG dan PERATURAN.
- Pasal 72 ayat (1)
Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber
dari:
a. pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi,
gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;
- Pasal 76 ayat (1)
Aset Desa dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat,
pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan,
pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian
umum, dan aset lainnya milik Desa.
Dimana para pemegang keputusan memutuskan bahwa Tanah
Bengkok yang selama ini menjadi Hak dari Kepala desa dan Perangkat Desa lainnya
harus ditarik. Perlu diketahui bahwa selama ini Tanah bengkok ada 3 jenis,
yaitu :
1. Tanah Bengkok Hak Kepala Desa dan Perangkat Desa lainnya sebagai
Penghasilan tetap.
2. Tanah Bengkok Ex- Sekretaris Desa yang sebelumnya menjadi Hak Sekretaris
Desa yang dimasukkan / dirubah menjadi Tanah Bengkok Grantungan akibat
kebijakan Sekretaris Desa PNS.
3. Tanah Bengkok Kas Desa atau Grantungan, yaitu aset Desa berupa Tanah darat
atau Tanah sawah yang penggunaannya dikhususkan untuk keperluan operasional jalannya
pelayanan pemerintahan desa seperti :
a. Menjamu Tamu Dinas,
b. Biaya acara – acara desa seperti HUT RI, Hari Besar Keagamaan dan Acara
adat desa seperti Nyadran, Legenonan dan sebagainya.
c.
Pembelian alat tulis kantor,
d.
Perjalanan Dinas Pemerintah Desa,
e.
Pembangunan Desa.
Amanat Undang-undang dalam pasal 72 ayat 1 dan pasal
76 ayat 1 yang disebut Tanah Kas Desa dalam hal ini adalah Tanah Bengkok ex Sekretaris Desa dan Tanah bengkok Grantungan yang
selama ini memang sering terjadi salah penggunaan dan kebijakan, serta
cenderung dikuasai oleh Kepala Desa. Maka tepat 2 jenis tanah bengkok inilah
yang dimasukkan dalam APBDes, namun Tanah bengkok Upah tetap menjadi
Penghasilan Tambahan bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa lainnya.
Bahwa Tanah Bengkok Upah adalah Hak asal usul Desa
yang merupakan Hak Adat Desa yang muncul dan ada sejak desa itu lahir yang
selama ini diberikan kepada Kepala Desa dan Perangkatnya sebagai penghasilan
tetap. Hingga atas kenyataan dan Hukum
kebiasaan( Konvensi ) di lapangan, banyak Kepala Desa dan Perangkat Desa
lainnya yang disebabkan faktor ekonomi telah menjual sewa habis tanah
benkoknya, baik untuk bayar kebutuhan ataupun hutang.
Hal ini jelas sangat tak adil bagi daerah dengan
Kondisi Khusus yaitu Daerah yang berbengkok ( pulau jawa ) dan keadaan khusus (
kepala desa yang diupah dari bengkok ).
2.
TERJADI PERAMPASAN WEWENANG DAN HAK DESA / KEPALA
DESA
1.
Wewenang Desa /Kepala Desa
Bahwa belakangan ini ada Intervensi berlebihan dari Pemerintah
baik Pusat dan Daerah atas Kewenangan yang yang selama ini melekat pada Desa
dan Kepala Desa selaku Pemimpin tertinggi di Desa. Kewenangan Desa sesuai amanat
Undang-Undang dan Peraturan yang ada adalah sebagai berikut :
A.
UU NO. 6 Th 2014 tentang Desa pada :
- Pasal 18 yaitu Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidangpenyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan PembangunanDesa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.
- Pasal 19
Kewenangan
Desa meliputi:
a. kewenangan berdasarkan hak asal usul;
b. kewenangan lokal berskala Desa;
c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
-
Pasal 20
Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal
usul dan kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa
B.
PP NO. 43 TH 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU DESA.
- Pasal 33
Kewenangan
Desa meliputi:
a.
kewenangan berdasarkan hak asal usul;
b.
kewenangan lokal berskala Desa;
c.
kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah,
pemerintah
d.
daerah provinsi, atau pemerintah daerah
kabupaten/kota;dan
e. kewenangan lain yang ditugaskan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pasal 34
Kewenangan
Desa berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 huruf a paling sedikit terdiri atas:
a.
sistem organisasi masyarakat adat;
b.
pembinaan kelembagaan masyarakat;
c.
pembinaan lembaga dan hukum adat;
d.
pengelolaan tanah kas Desa; dan
e.
pengembangan peran masyarakat Desa.
Jelas amanat dari Undang-undang No.6
Th 2014 ttg Desa dan PP 43 Th 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa
menghormati wewenang Desa dan Kepala Desa, dengan tentu asal tak menyalahi
aturan yang ada dengan maksud dan tujuan agar kewenang yang diberikan tak
digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya namun semata-mata untuk
kepentingan umum dan desanya.
Jelas bahwa Tanah Bengkok Upah, atas
kewenangan yang melekat pada Desa dan Kepala Desa telah disepakati secara turun
temurun dari sejak Desa itu lahir dijadikan penghasilan Tetap Kepala Desa dan
Perangkat Desa lainnya. Maka tak salah bila atasnya sudah ada keterlanjuran
dijual sewanya Tanah Bengkok Upah tadi hingga akhir masa Jabatan Kades dan
Perangkat desa.
2. Hak atas Pendapatan Kepala Desa dan Perangkat
lainnya
Bahwa semangat Undang-Undang No.6 tahun 2014 membawa semangat
selain Pembangunan yang berpusat di Desa juga meningkatkan Kesejahteraan Pelaku
atau objek dari Undang-undang tersebut yaitu Kepala desa dan Perangkat Desa
lainnya.
- Pasal 81 ayat (1) PP 43 TH 2014
Penghasilan
tetap kepala Desa dan perangkat Desa dianggarkan dalam APB Desa yang bersumber
dari ADD.
- Pasal 82 PP 43 TH 2014
a. Selain menerima penghasilan tetap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 81,kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan dan
penerimaan lain yang sah.
b. Tunjangan dan penerimaan lain yang sah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari APB Desa dan
berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
c. Besaran tunjangan dan penerimaan lain yang sah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.
Amanat tersebut jelas, Negara bermaksud meningkatkan kesejahteraan
pelaku Pemerintahan dan Pembangunan desa. Maka kalaupun Negara akan memberikan
Penghasilan Tetap yang dianggarkan dari ADD seyogyanya sebanding dengan Hasil
dari Tanah Bengkok Upah yang selama ini menjadi Hak atas Upah Kepala Desa dan
Perangkat Desa lainnya.
Atau Tanah Bengkok Upah bisa menjadi Tunjangan lainnya tanpa
Batasan, dengan dengan tetap memasukkannya dalam APBDes namun tanpa batasan
seperti yang diamanatkan PP Nomor 60 Th 2014
Pasal100 Belanja
Desa yang ditetapkan dalam APB Desa digunakan dengan ketentuan:
a.
paling sedikit 70% (tujuh puluh perseratus)
dari jumlah anggaran belanja Desa digunakan untuk mendanai penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan masyarakat Desa; dan
b.
paling banyak 30% (tiga puluh perseratus) dari
jumlah anggaran belanja Desa digunakan untuk:
1.
penghasilan tetap dan tunjangan kepala Desa
dan perangkat Desa;
2.
operasional Pemerintah Desa;
3.
tunjangan dan operasional Badan
Permusyawaratan Desa; dan
4.
insentif rukun tetangga dan rukun warga.
Karena bila dipaksakan Tanah Bengkok di tarik dan disertai batasan
seperti tersebut di atas banyak Kepala Desa yang semula sebelum UU Desa
diberlakukan mendapat Penghasilan / Take Home Pay Rp.8.000.000,- hingga
Rp.12.000.000,- perbulan diluar tunjangan lainnya hanya akan mendapat Penghasilan
Tetap sekitar antara Rp.2.400.000,- hingga Rp.5.000.000,- diluar tunjangan
lainnya.
Jawaban bahwa nanti akan mendapat tunjangan lainnya ternyata ini
masih tanda tanya besar karena banyak batasan yang ada. Maka kesejahteraan
untuk Desa yang mempunyai Tanah Bengkok Upah lebih baik dulu sebelum ada Undang
– Undang Desa.
Bisa disimpulkan dengan UU No. 6 Th 2014 tentang Desa tak berpihak
kepada Desa yang mempunyai Tanah bengkok Upah.
C.
VALIDITAS
DATA dan KEKINIAN DATA.
Seperti
yang diamanatkan dalam PP No. 60 Th 2014 tentang Dana desa terdapat 4 sumber data yang dijadikan Bilangan Pembagi
yang sangat berpengaruh terhadap besaran Dana Desa
yang diterima masing-masing Kabupaten dan desa. Ketiga data tersebut adalah :
1.
Jumlah Penduduk,
2.
Luas wilayah,
3.
Jumlah Rumah Tangga Miskin,
4.
Indeks Kemahalan Kontruksi / Indek Kemahalan
Geografis ( IKG ).
Hal
ini termaktub dalam amanat dalam :
Pasal
11 Pengalokasian Dana setiap kabupaten atau Kota
1. Dana Desa setiap Kabupaten / Kota dialokasikan
berdasarkan Perkalian antara Jumlah Desadi setiap Kabupaten / Kota dan
rata-rata Dana Desa setiap Provinsi.
2. Rata-rata Dana Desa setiap provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat ( 1 ) dialokasikan berdasarkan jumlah Desa dalam Provinsi
yang bersangkutan serta jumlah penduduk Kabupaten / Kota , luas wilayah
Kabupaten / Kota , angka kemiskinan Kabupaten / Kota, dan Tingkat Kesulitan
geografis kabupaten / kota dalam Profinsi bersangkutan.
3. Jumlah penduduk, Luas wilayah, dan angka
kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 ) dihitung deengan bobot :
a.
30 % ( tiga puluh perseratus ) untuk jumlah
penduduk kabupaten / kota ;
b.
20 % ( dua puluh perseratus ) untuk jumlah
penduduk kabupaten / kota ;
c.
50 % ( limapuluh perseratus ) untuk angka
kemiskinan kabupaten / kota.
4. Tingkat kesulitan geografis ( IKG ) dimaksud
pada ayat ( 2 ) ditunjukkan oleh Indeks Kemahalan Konstruksi.
5. Indeks kemahalan konstruksi sebagaimana dimaksud
pada ayat ( 4 ) digunakan sebagai faktor pengali hasil penghitungan sebagaimana
dimaksud pada ayat ( 3 ).
6. Rata-rata Dana Desa setiap Provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat ( 1 ) dihitung dengan cara ;
a.
Pagu Dana Desa Nasional yang diterapkan dalam
APBN x [(30% x persentase jumlah penduduk kabupaten / kota terhadap total
penduduk nasional) + ( 20% x persentase luaswilayah kabupaten / kota terhadap
penduduk miskin nasional ) + ( 50% x
persentase jumlah penduduk miskin kabupaten / kota terhadap penduduk miskin
nasional )] untuk mendapatkan Dana Desa setiap kabupaten / kota;
b.
Dana Desa setiap Kabupaten / Kota hasil
penghitungan sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dikalikan indeks kemahalan konstruksi setiap
kabupaten / kota;
c. Hasil penghitungan Dana Desa setiap kabupaten /
kota sebagaimana dimaksud pada huruf (b) dijumlahkan berdasarkan provinsi; dan
d. Jumlah Dana Desa setiap provinsi sebagaimana
dimaksud pada huruf (c) dibagi dengan jumlah Desa di setiap provinsi untuk
mendapatkan rata-rata Dana Desa setiap provinsi.
7. Data jumlah penduduk, luaswilayah, angka
kemiskinan, dan indeks kemahalan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan ayat (4) merupakan data yang digunakan dalam perhitungan Dana Alokasi Umum.
8. Besaran Dana Desa setiap kabpaten / kota
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal
12 Pengalokasian Dana Desa Setiap Desa
1. Berdasarkan besaran Dana Desa setiap kabupaten /
kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (8), bupati / walikota menetapkan
besaran Dana Desa untuk setiap Desa di wilayahnya.
2. Besaran Dana Desa setiap Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah penduduk Desa, luas wilayah Desa, angka
kemiskinan Desa, dan tingkat kesulitan geografis.
3.
Jumlah penduduk, Luas wilayah, dan angka
kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 )
dihitung dengan bobot :
a.
30 % ( tiga puluh perseratus ) untuk jumlah
penduduk Desa ;
b.
20 % ( dua puluh perseratus ) untuk jumlah
penduduk Desa ;
c.
50 % ( limapuluh perseratus ) untuk angka
kemiskinan Desa..
4. Indeks kemahalan konstruksi sebagaimana dimaksud
pada ayat ( 4 ) digunakan sebagai faktor pengali hasil penghitungan sebagaimana
dimaksud pada ayat ( 3 ).
5. Besaran Dana desa setiap Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara
a. Dana Desa untuk suatu Desa = Pagu Dana Desa
Kabupaten / Kota x [(30% x persentase
jumlah penduduk Desa bersangkutan
terhadap total penduduk Desa di Kabupaten / kota) +(20% x persentase
Luas wilayah Desa bersangkutan terhadap
total luas wilayah Desa di Kabupaten / kota yang bersangkutan) + ( 50% x
persentase Rumah Tangga pemegang Kartu Perlindungan Sosial terhadap Total
jumlah Rumah Tangga Desa di abupaten bersangkutan )] ; dan
b.
Hasil penghitungan sebagaimana dimaksud pada
huruf (a) disesuaikan dengan tingkat kesulitan geografis setiap desa.
6. Tingkat kesulitan geografis sebagaimana dimaksud
pada ayat ( 4 ) ditentukan oleh faktor yang meliputi :
a.
Ketersediaan pelayanan dasar;
b.
Kondisi infrastruktur;
c.
Transportasi; dan
d.
Komunikasi Desa ke Kabupaten / kota.
7. Data jumlah penduduk Desa, luas wilayah Desa,
angka kemiskinan Desa, dan tingkat kesulitan geografis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) bersumber dari Badan Pusat Statistik.
8. Tata Cara pembagian dan penetapan besaran Dana
Desa setiap Desa ditetapkan dengan peraturan bupati / walikota.
9. Bupati / walikota menyampaikan peraturan bupati
/ walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada Menteri dengan tembusan
Gubernur.
Permasalahannya
ke-4 data tersebut ternyata didapat dari data BPS tahun sensus 2011. Dimana dipastikan Data tersebut
sudah tidak valid dan tidak sesuai lagi dengan keadaan terkini dari masing – masing Kabupaten dan Desa pada tahun 2015
ketika Dana Desa dikucurkan.
Dari
ke-4 Sumber Data , yang menjadi pokok permasalahan adalah 3 poin selain Luas
wilayah. Selama luas wilayah diisi
dengan benar maka tak akan timbul masalah, walau ternyata setelah ditelusuri banyak Desa yang
Luas wilayahnya ada kesalahan input data yang mencapai
perbedaan hingga ribuan Ha untuk sat desa karena permasalahan salah input data seperti, Desa Purwodadi Kecamatan
Sragi Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah sesuai data BPS seluas 1,232,32 HA padahal yang benar
adalah 123,232 HA.
Kesalahan
fatal seperti ini jelas akan berpengaruh pada hasil akhir terhadap Dana Desa
yang diterima tiap Kabupaten atau
Desa. Untunglah Luas wilayah hanya mempunyai prosentase keberpengaruhan hanya sebesar 20 %. Yang paling perlu ditelusuri
adalah 3 sumber data BPS karena
mempunyai prosentase keberpengaruhan 30 dan 50 % terhadap besaran dana yaitu :
1. Jumlah Penduduk dengan Prosentase Pengaruh
30 %
Jumlah Penduduk yang dipakai sebagai dasar
penghitungan pencairan dana desa pada tahun 2015 adalah data BPS sensus tahun 2011.
Yang pasti jumlah penduduk ini sudah tidak valid lagi, karena jumlah penduduk
pasti mengalami perubahan selama 4 Tahun. Perubahannya pada th. 2015 rata-rata
sekitar 10 – 15 % dari jumlah penduduk th 2011 yang dikeluarkan BPS pada tahun
2011.
Dengan prosentase sebesar 30-an % maka ini berpengaruh
signifikan terhadap besaran dana yang diterima masing-masing desa.
2. RTM ( keluarga penerima Kartu Pengaman
Sosial ) dgn prosentase Pengaruh 50 %
Dengan Prosentase Pengaruh hingga 50 %, jumlah RTM
atau penerima Kartu Pengaman sosial ini merupakan Sumber Data yang paling
bermasalah.
Terlebih pada bulan Desember 2014, betapa terjadi
carut marut penerimaan KSPS pasca kenaikan BBM yang disebabkan data RTM yang
tidak valid dan terbukti banyak kesalahan dilapangan karena system sensus dan
survey yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Betapa banyak dijumpai pengambil bantuan KSPS adalah
warga mampu dengan segala perhiasan yang dia pakai dan datang dengan kendaraan
roda dua keluaran terbaru. Sedang banyak teriakan dari orang-orang yang benar –
benar tidak mampu namun tak mempunyai Kartu Pengaman Sosial ( KPS ).
Ketidaktepatan penerimaan bantuan pasca kenaikan BBM
bulan Desember 2014 kemarin, ada 2 sebab yang utama :
1. Warga mampu pemegang KPS adalah warga mampu
yang dimasukkan sengaja oleh oknum Perangkat desa karena latar belakang
kedekatan Keluarga, kedekatan Politik dengan Kepala Desa atau perangkat
lainnya.
2. Warga yang dulu memang layak dan berhak pada
tahun 2011 telah mengalami peningkatan taraf hidup dan mampu pada desember
2014.
Maka
menggunakan data BPS Th 2011 adalah kesalahan besar dan Kebijakan yang sangat tidak tepat. Kelayakan
penerimaan KPS tiap desa dalam satu wilayah kecamatan sangat mudah untuk disimpulkan bahwa suatu desa
melakukan kebijakan penggelembungan jumlah Rumah Tangga Miskin atau tidak. Dilihat dari prosentase Jumlah
Penduduk, Luas wilayah dan kawasan
geografis yang sama maka dapat dengan mudah disimpulkan.
Desa
yang bertetangga lebih mudah lagi untuk diamati, karena sering terdapat dalam
satu keluarga besar ada yang
menjadi warga dari 2 bahkan 3 desa berdekatan. Dengan kondisi Rumah tangga yang sama, kadang di desa lain mendapat KPS
dan di desa satunya tak mendapat, padahal
sekali lagi dengan kondisi ekonomi yang hampir sama.
Maka
langkah yang harus di ambil adalah perbaiki data agar sevalid mungkin, atau tiadakan RTM sebagai bilangan penghitung
selama belum ada data yang bisa dipertanggungjawabkan.
3. Nilai Indeks Kemahalan Konstruksi / Indek
Kemahalan Geografis yang tak Valid.
Nilai IKK / IKG adalah nilai yang didapat dari formulasi
tertentu yang memperhitungakan berbagai kesulitan geografis suatu desa yang
mengakibatkan mahalnya harga-harga bahan bangunan karena kesulitan transportasi
baik karena kendala medan geografis atau jauhnya dari pusat kota kabupaten yang
selama ini menjadi pusat bahan baku pembangunan.
Angka IKK / IKG menjadi bilangan
penghitung berdasar amanat Pasal 12 ayat 6 PP No.60 Th. 2014 pada
hal Pengalokasian Dana Desa Setiap Desa yaitu Tingkat kesulitan geografis sebagaimana dimaksud pada ayat ( 4 )
ditentukan oleh faktor yang meliputi :
a.
Ketersediaan pelayanan dasar;
b.
Kondisi infrastruktur;
c.
Transportasi; dan
d.
Komunikasi Desa ke Kabupaten / kota.
Dan sekali lagi data itu ternyata didapat dari data
BPS Th. 2011 yang mana harus dipertanyakan kesesuaian data tersebut dengan
keadaan terkini pada tahun 2015. Banyak sumber data yang bisa dijadikan Bahan /
sumber, namun amanat Pasal 12 ayat 7 PP No. 60 Tahun 2014 tentang dana Desa
mengamanatkan bahwa :
Data jumlah penduduk Desa, luas wilayah
Desa, angka kemiskinan Desa, dan tingkat
kesulitan geografis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersumber dari Badan Pusat Statistik.
Nilai IKK / IKG tiap Kabupaten memang tak bisa kita
nilai sejauh mana kevaliditan data tersebut. Namun bila pada level sesama satu
kecamatan maka sharusnya range perbedaan nilai IKK / IKG ini tak berbeda jauh.
Namun ternyata banyak Desa dalam satu kecamatan dengan jarak tak lebih dari 2-3
KM nilai IKK / IKG-nya berbeda hingga 20-an digit.
Padahal bila kita rubah persepuluh digit, pada tabel
perolehan dana desa yang diperoleh di Kabupaten Pekalongan mengakibatkan
perbedaan perolehan hingga puluhan juta rupiah. Yang makin membuat tanda tanya
besar, daerah pegunungan seperti daerah Paninggaran ada yang nilai IKK /IKG-nya
sama dengan wilayah di pantura dengan kemudahan Transportasi dan Geografis yang
sangat-sangat berbeda.
Maka patut ditanyakan kebenaran dan keakuratan dari
nilai IKK / IKG yang dijadikan sebagai bagian formula / rumus untuk menentukan
besaran penerimaan dana desa.
D.
KESIAPAN
PELAKU ATAU OBJEK HUKUM UNDANG-UNDANG NO.6 TH 2014 tentang DESA
Kesiapan Pelaku
dalam hal ini semua lembaga baik Lembaga Pemerintah desa yang terdiri dari
Kepala Desa dan Perangkat Desa lainnya, juga kesiapan Lembaga Pemerintahan Desa
dari BPD, RT-RW dan lembaga desa lainnya seperti PKK, Karang Taruna, LPMD dll.
Akan tetapi lembaga
pokok sebagai penerima dana adalah Pemerintah Desa dan BPD, karena dua lembaga
inilah Pelaku pelaksanaan Undang-Undang Desa pada nantinya. Maka mereka perlu
mendapatkan Pendidikan dan Pelatihan seluas-luasnya agar tak terjadi seperti
apa yang diramalkan oleh para pemerhati kebijakan pembangunan desa.
Pendidikan dan
Pelatihan ini sangat perlu untuk menyiapkan SDM pada lembaga Pemerintahan Desa
agar benar-benar siap untuk melaksanakan Undang-Undang Desa. Mulai dari tahap
perencanaan, pencairan dana, pengalokasian dana, pemanfaatan dana,
pertanggungjawaban hingga hal lain yang terkait, hingga tak timbul hal-hal yang
tak diinginkan seperti kesalahan yang berakibat fatal dan berurusan dimuka
hukum.
Pendidikan dan
Pelatihan tidak saja hanya Pemerintah Desa yang diwajibkan mendapatkannya.
Namun Instansi terkait seperti Pemerintah daerah hingga level kecamatan dan
Lembaga lain yang merupakan lembaga Pendamping, Pemeriksa hingga Lembaga Hukum
juga perlu mendapatkan Pendidikan dan Pelatihan atas segala yang berkaitan
dengan pelaksanaan Undang-Undang Desa ini.
Selain
Pendidikan dan Pelatihan juga perlu Kesepemahaman atas segala Perundangan dan
Peraturan yang menjadi dasar pelaksanaan dari UU Desa ini. Hal ini perlu agar
tak terjadi benturan Kepentingan karena perbedaan cara pandang antara :
1. Pemerintah dan Pemerintahan Desa sebagai pelaku
atau pelaksana,
2. Pemerintah Daerah sebagai Pendamping Pelaksanaan,
3. Itwil, BPKP sebagai pemeriksa dan Pengawas atas
Pelaksanaan Program,
4. Kepolisian dan Kejaksaan sebagai Penyidik dan
Penyelidik serta Penuntut bila ada penyimpangan Program / Dana,
5. KPK dan Kehakiman sebagai Pemutus Hukuman bila
ada Penyimpangan Program yang merugikan Keuangan Negara.
Masing
– masing dari lembaga tadi harus satu pengertian terhadap apa yang menjadi
tujuan pelaksanaan UU Desa. Karena
bila antar masing-masing tak sama cara pandangnya maka yang dirugikan dan menjadi korban adalah Pelaksana
atau objek dari UU Desa yaitu Kepala Desa
dan Perangkat desa lainnya.
Maka
Diklat perlu dan wajib untuk semua lembaga tersebut tanpa terkecuali.
KESIMPULAN
UU No. 6 Tahun 2014 mempunyai semangat adiluhung,
namun bila pelaksanaannya tidak dibarengi dengan Peraturan Pelaksanaan yang
baik dan berpihak pada Desa serta tak didukung Data yang terkini dan bisa
dipertanggungjawabkan kebenaran serta keakuratannya maka Pelaksanaan UU No.6
Tahun 2014 diharapkan agar ditunda pelaksanannya.
Penundaan ini perlu guna menghindari benturan secara
horisontal antar desa yang merasa diperlakukan tak adil karena banyaknya
kesalahan data terutama Jumlah RTM penerima Kart Pengaman sosial dan indeks
Kemahalan Geografis.
Kalaupun bahwa Pelaksanaan UU No.6 Th 2014 tentang
Desa ini harus dilaksanakan pada waktu sekarang ini, maka harus ada toleransi
terhadap beberapa ketentuan yang ada di Undang-Undang tersebut maupun peraturan
daerah pelaksanaannya.
Aatau bisa diambil kebijakan sama rata terlebih dahulu
hingga Nilai / angka bilangan penghitung telah dapat diupdate hingga sesuai
dengan situasi dan kondisi yang sebenarnya di masing-masing desa.